Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia direkomendasikan agar menerapkan teknologi smart water dalam menghadapi krisis air bersih yang diprediksi para ahli akan terjadi pada tahun 2030 mendatang.
Business Vice President Industrial Automation Schneider Electric Indonesia & Timor Leste Hedi Santoso memprediksi bahwa, pada 2030 masyarakat dunia akan menghadapi defisit air mencapai 40 persen dalam kondisi iklim yang sama atau bahkan lebih buruk daripada yang terjadi saat ini di sejumlah negara.
Kondisi ini menuntut pengelolaan air yang efisien dan andal untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan air bersih untuk seluruh masyarakat dan makhluk di bumi.
Baca Juga : Ngeri! Krisis Air Bersih semakin Menghantui saat Pandemi
Krisis air bersih disebabkan kombinasi dari tiga faktor yaitu pertumbuhan populasi dan perubahan demografi, urbanisasi, dan perubahan iklim.
1). Pertumbuhan Populasi
Kenaikan populasi penduduk berpengaruh sangat besar terhadap ketersediaan air bersih. Misalkan di suatu tempat terdapat danau, pada mulanya hanya ada 100 orang yang hidup dari air danau tersebut. Lalu naiklah angka kelahiran hingga bertahun-tahun setelahnya ada 100 ribu orang.
Air danau yang dulunya dapat memenuhi kebutuhan populasi, sekarang telah surut sehingga manusia mulai kekurangan air bersih. Semakin banyak manusia, maka makin banyak juga air yang dibutuhkan, sedangkan sumber air bersih tidak bertambah dan mengakibatkan terjadinya krisis air bersih.
2). Urbanisasi
Kota selalu mempunyai daya tarik ekonomi untuk menarik penduduk dari wilayah pedesaan pindah ke daerah perkotaan.
Kenaikan jumlah penduduk di kota selain meningkatkan jumlah kebutuhan air bersih, juga memerlukan tempat tinggal yang sangat mungkin mengurangi daerah resapan air. Kondisi tersebut tentunya hanya akan membuat ketersediaan air semakin menipis.
