Dampak Pandemi, Krisis Air dan Wilayah Pesisir Amblas

Krisis Air Dampak Pandemi
Krisis Air Dampak Pandemi

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung dua tahun lebih memperparah krisis air tanah dan amblasnya wilayah pesisir.

Hal ini terjadi karena selama Pandemi Covid-19 penggunaan air naik 3 kali lipat dari masa sebelumnya.

Penduduk Indonesia masih sangat mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Air tanah dianggap memiliki beberapa keunggulan, seperti kualitas yang baik dan mudah dijangkau.

Penggunaan air tanah secara berlebihan dapat menyebabkan cadangan air tanah menyusut. Hal ini memunculkan tanda dengan terbentuknya kerucut penurunan air tanah di lokasi dengan penggunaan air tanah yang intensif.

Pengerucutan terbentuk akibat penyedotan air tanah lebih besar daripada jumlah air yang terserap ke lapisan aquifer, yaitu lapisan tanah yang bisa menyimpan air tanah.

Penggunaan air tanah yang masif juga bisa menyebabkan mengeringnya sungai dan badan air permukaan lain.

Sedangkan pengambilan air tanah di wilayah pesisir akan memicu terjadinya intrusi air laut, yang menurunkan kualitas air tanah.

Pengerucutan selanjutnya dapat berdampak pada penurunan muka tanah. Studi di Amerika Serikat, telah menyimpulkan bahwa lebih dari 80% kejadian penurunan muka tanah di negara tersebut berhubungan erat dengan pengambilan air tanah yang tidak terkontrol.

Kita harus mengambil langkah tegas untuk membatasi penggunaan air tanah air tanah melalui berbagai pengaturan dan kebijakan.

Karena, jika tren pengambilan air tanah yang meningkat sejak sebelum pandemi terus terjadi, maka muka air tanah sudah barang tentu menurun lebih cepat lagi, yang dapat memperburuk bencana amblesnya tanah.

Pemerintah perlu memperbaiki pencatatan pengambilan air tanah oleh masyarakat, mulai dari rumah tangga, program pemerintah, sektor pertanian, hingga pelaku usaha.

Baca Juga: Krisis Air, Warga Kubu Terpaksa Mengorek Rembesan Air Pipa

Artikel Lainnya  Waduh! Ini Dampak Kekeringan yang Terjadi Apabila Dibiarkan

Sekarang ini ada dugaan jumlah sumur yang tidak tercatat atau yang belum berizin masih jauh lebih banyak daripada sumur berizin atau yang tercatat di pemerintah daerah.

Kita membutuhkan regulasi terpadu yang dapat mendorong solusi teknis pengelolaan air yang berkelanjutan. Harapannya, risiko terjadinya penurunan muka tanah dapat diantisipasi sejak awal.

Indonesia dapat meniru Tokyo, salah satu kota terpadat di dunia, yang dapat menahan laju penurunan muka air tanah dalam waktu 20 tahun, melalui pembangunan pipanisasi dengan memanfaatkan air permukaan, seperti sungai dan danau yang menggantikan air tanah.