Bagi sebagian warga Jakarta, air bersih merupakan kebutuhan dasar yang mewah. Mereka harus membeli dengan harga mahal, bahkan hingga mencapai Rp 600 ribu per-bulannya. Sementara warga lainnya yang mendapat layanan air pipa, hanya mengeluarkan Rp120 ribu. Hal ini tentu mengindikasikan ketimpangan air bersih masih terjadi di Jakarta.
Mantan Direktur Utama Perusahaan Air Minum Jakarta Raya, Bambang Hernowo mengakui bahwa cakupan layanan penyaluran air bersih di Ibu Kota belum merata.
Bambang juga menyebut, kapasitas air di Jakarta mencapai 21 ribu liter per second (lps). Besarnya kapasitas tersebut baru mampu melayani 65 persen wilayah Jakarta dengan total pelanggan 907 ribu (data Juli 2021).
Terlihat aneh memang, walaupun Jakarta dilintasi belasan sungai dan waduk tetapi hanya 6 persen dari semuanya yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih untuk diolah menjadi air layak minum. Sebagian besar lainnya, sekitar 81 persen kebutuhan air baku berasal dari luar Jakarta, yaitu Waduk Jatiluhur.
Bambang menegaskan bahwa minimnya penggunaan air dari sungai melintasi Jakarta karena mutu dari air tersebut di bawah standar. Inilah yang menyebabkan cakupan layanan air perpipaan di Jakarta belum mencapai angka ideal, yaitu 85 persen.
Apa yang dikatakan Bambang Hernowo ini hendaknya menjadi perhatian semua pemangku kepentingan di sektor air bersih untuk mencari terobosan baru dalam memperluas jaringan akses air bersih.
Melihat ketimpangan ini, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas masalah air bersih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya harus segera memberikan aksi nyata agar masalah ketimpangan yang memberatkan warga Jakarta ini bisa segera selesai.
Selama cakupan layanan belum mencapai 100 persen, air bersih akan tetap jadi barang mewah bagi warga Jakarta yang rumahnya belum teraliri air pipa sehingga mereka akan tetap merogoh kocek lebih dalam hanya untuk membeli air bersih saja.
